Sabtu, 20 Februari 2010

Mereka di Surga, Aku dipinggiran Jalan

Dalam keheningan pagi, terlihat sesosok tubuh mungil tertidur lelap dibalik tenda biru yang hampir rata dengan tanah. Dinginnya angin yang menusuk tubuh tak pernah dihiraukan oleh tubuh mungil itu. Hanyalah sepasang pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya. Seakan hanya matahari yang mampu membuat pakaiannya baru kembali, sampai datangnya sepasang tangan yang mau mengangkatnya dari keterpurukkannya.

Tiba-tiba, tubuh mungil itu terbangun dari komedi putar mimpinya. Langakah demi langkah dilakukannya untuk keluar dari penjara kumuhnya. Mentari pagi yang menyambutnya hangat selalu dianggapnya sebagai seorang Ibu yang menyayanginya. Di dalam lubuk hatinya, sosok Ibu, Ayah, dan kasih sayang hanyalah dongeng belaka. Semua lagu anak-anak yang membawa kegembiraan kasih sayang orangtua tak pernah ingin didengar oleh hati nuraninya.

Denting waktu sudah menunjukkan bahwa matahari saat ini berada tepat di atas kepalanya. Tetapi, langit masih mempertahankan warna kelam di surganya. Sangat tampak tetesan air yang asin akan jatuh dari tempat yang sangat tinggi dan membasahi seluruh pelosok negeri. Kecemasan sangat tampak di raut wajahnya kecilnya. Karena baginya, hanya cahaya mentari yang mempu membuatnya bertahan melawan kelamnya dunia maupun kesendiriannya.

Perkiraan hatinya kali ini tak meleset lagi. Derai air mulai menetes satu per satu membasahi wajahnya. Pakaiaannya yang baru saja mengering di tubuh, kini kembali basah. Ia selalu menatap heran pada teman-teman kecilnya yang sangat gembira menyambut datangnya air kejam itu. Hatinya pun bertanya-tanya.. “Wahai Dewi Mentari, dimanakah engkau berada?...”

Teriakan dan canda tawa teman-teman sebayannya menggugah hatinya untuk keluar dari tempat sesaknya. Dilihatnya tubuh-tubuh mungil riang bermandi air hujan. Pakaian mereka yang basah dan kering di tubuh tak menjadi batu penghalang kesenangan di hati mereka. Ia sangat ingin bergabung dengan mereka, menikmati canda-tawa yang mulai merajalela. Ia pun segera mengikuti kata hatinya. Ditengoknya awan di langit masih menangis dengan tersedu-sedu. Sebentar-sebentar ia menghapus air yang hampir menerobos kelopak matanya. Tiba-tiba, kaki dan tubuhnya menjadi kaku. Ia bingung terhadap apa yang akan ia lakukan di luar sana.

“Ciara!.. Kemari!.. Sedang apa kamu disana?.. Mari ikut denganku...” tiba-tiba suara seorang anak yang sebaya dengannya memanggil dari perempatan jalan.

“Iya, aku segera kesana, Mya...” jawabnya pada gadis berambut lebat di perempatan jalan itu, Mya. Seketika itu juga, Ciara sampai di tempat Mya. Diserahkannya payung merah berrcorak bunga pada Ciara.

“Ciara, kamu tanyakan pada orang-orang agar mau kau payungi, lalu terima bayaran dari mereka. Inilah yang biasa disebut orang sebagai ‘Ojek Payung’.. Sebutan ini tidak begitu jelek, kan?... Apa kau mau melakukannya?.. Percayalah padaku, ini seru!..” jelas Mya lembut pada Ciara.

“Baik, Mya... Akan ku coba..” jawab Ciara dengan tatapan heran. Hatinya menerawang kata-kata Mya untuk mendapat penjelasan yang mudah ia mengerti.

Setelah sekian lama berlarian di jalan basah, lumpuur-lumpur yang tergenang sudah membasahi kakinya. Ia mulai menikmati kesenangan yang melumuri hatinya. Kegembiraan dan senyuman yang tulus mulai tersiratkan di wajah mungilnya. Tiba-tiba, hempasan angin dingin yang kencang menerpa tubuhnya. Ia sungguh tak kuasa menahan terjangan angin. Tangan kirinya yang memegang payung terlepas begitu saja. Ia berlari melawan arus kendaraan yang melaju kencang demi mendapatkan payungnya kembali. Tanpa menyerah melawan angin yang menusuk tubuh, ia terus berlari tanpa henti...

Seketika itu, sebuah motor yang melaju kencang menyerempet tubuh bagian kanan Ciara. Ciara terlempar ke trotoar dan kepalanya mengenai batu aspal yang keras. Dilihatnya sekelompok orang mulai mengerumuninya. Kini, ia benar-benar tak sadarkan diri. Kepalanya telah berlumuran darah merah yang tak henti-hentinya mengalir. Tak ada satupun orang yang menolongnya. Tak ada satupun hati yang tergerakk membawanya ke tempat yang lebih layak..

Setelah Ciara siuman, ia segera membuka matanya. Dilihatnya ruangan bernuansa putih bersih yang bercahaya menyilaukan. Dari pintu, keluarlah sepasang suami-istri yang terlihat sudah lama mengenal Ciara. Mereka langsung mendekati Ciara dan memeluknya erat. Ia mendengar bisikan pelan yang sungguh mengejutkan hatinya.

“Ciara sayang, ini ayah dan ibu, maafkan kami kalau kami meninggalkanmu lebih dulu. Sebenarnya kami tak mau itu terjadi. Kecelakaan mobil yang dialami ibu dan ayah membawa kami jauh darimu, nak. Tapi jiwa kami tetap selamanya berada di hatimu. Anakku tersayang, kini kita sudah berkumpul kembali, dan kita tak akan terpisahkan kembali.. Ingatlah ini baik-baik Ciara, kami selalu menyayangimu, anakku.... “

Rabu, 30 Desember 2009

Cerpen - Dia Merenggut Nyawa Anakku

Matahari sudah menampakkan wajahnya sejak tadi. Dirinya pun sudah menyinari dunia. Sinarnya memancarkan cahaya yang hangat setiap pagi. Angin dingin yang menusuk tubuh telah gugur dikalahkan panas dirinya. Pasukan awan hitam pun sudah pergi terbakar cahaya kedatangannya. Kuat sinarnya mampu menembus jendela-jendela kaca di seluruh pelosok negeri maupun pulau-pulau kecil. Awan-awan putih yang menyiratkan sejuta kebahagiaan berdatangan mengiringi langkah tegap Sang Dewa Pagi.

Di suatu pulau terpencil bernama Pulau Shannon, terlihat ratusan rumah yang letaknya berdekatan. Rumah-rumah itu sedang sibuk membuka kain lusuh penutup jendela mereka. Sang Mentari pun langsung menerobos masuk ke rumah-rumah itu dan memberikan secercah harapan baru bagi setiap orang yang menantikannya. Dari kerumunan rumah yang bersinggungan, terlihat sebuah rumah yang agak sederhana. Atap dan tembok yang baru dicat putih menjadi tiang pancang pendiri tempat itu.

Denting waktu sudah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Terlihat sesosok wanita setengah baya sedang menyiapkan sesuatu di meja makan. Tak ada seorangpun yang membantunya. Tetes demi tetes keringat yang jatuh dikeningnya selalu dihapusnya dan tak pernah membuatnya berhenti melakukan tugasnya.

”Ibu..! Reina pergi dulu... Reina ga jadi makan, udah telat... Daaahh...”Tiba-tiba, terdengar teriakan dari seorang gadis yang beranjak dari kamar kecil berhiaskan warna birunya. Ia mengenakan pakaian putih abu-abu yang bertuliskan dua patah kata, ’Reina Anneta’. Dari pakaiannya yang sangat jauh dari kata rapi, dapat dipastikan bahwa ia seorang putri SMA yang tidak berkelakuan baik maupun berhati putih. Reina pun segera memakai sepatu hitam barunya dan meninggalkan tempat tinggalnya secepat kilat. Ibunya belum sama sekali memberikan jawaban untuk anak emasnya itu. Ia hanya mampu menjawab dalam hatinya dan berharap akan didengar oleh anaknya....”Nak, tidak apa-apa jika kau tidak sarapan bersama Ibu... Ibu sudah menaruh bekal di tasmu agar kau tidak lapar... Hati-hati ya,Nak... Doa Ibu selalu bersamamu... Ibu sayang padamu...”

Dari wajah Ibu itu, terlihat tetesan air mata yang berlinang membasahi pipinya. Hatinya bagai tersayatkan seribu pisau melihat perlakuan anak sematawayangnya untuk membalas kasih Ibunya. Tetes darah dan keringat pengorbanan Sang Ibu bagai tak ada artinya lagi. Tapi, Ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa sampai kapan pun dan apa pun perlakuan anaknya pada dirinya, Ia tetap rela mengorbankan segalanya bahkan jiwa-raganya. Di dalam hati putihnya, masih tersimpan jutaan maaf yang tak terhingga untuk anaknya. Ini semua dilakukannya demi pembuktian pada anaknya bahwa : ”Kasih Ibunya adalah tulus sepanjang masa....”

Mentari hangat kini telah berganti menjadi sinar terik yang sangat menyengat. Di lapangan sekolah Reina yang terhampar luas, tampak Reina dan teman-temannya sedang tertawa-tawa. Mereka terdiri dari 2 perempuan dan 4 laki-laki. Ibu Erlina, yang tak lain adalah Ibunda Reina, melihat Reina sedang tenggelam dalam kegembiraan di dunianya sendiri. Bu Erlina memilih untuk tidak mendekatinya dan memutuskan untuk langsung menuju kantor Kepala Sekolah demi memenuhi panggilan dari sekolah. Ketika Reina menengok pada Ibunya, tak tersiratkan segaris pun senyum ramah dari hatinya. Tanpa disadari, Reina telah menancapkan satu buah paku yang runcing ke dalam hati Sang Ibu tercinta...

”Tok..Tok..Tok..” Bu Erlina mengetuk pintu kantor Kepala Sekolah. ”Iya, silahkan masuk.. Oh, Ibu Erlina. Silahkan duduk Ibu, ada hal penting yang saya ingin bicarakan dengan Ibu mengenai anak Ibu, Reina Anneta.” sambut Bu Tyra dengan ramah pada Bu Erlina. Seramah-ramahnya Ibu Tyra, masih bisa terlihat wajahnya yang tergores dengan garis kecemasan walaupun sangat tipis. Bu Erlina menjadi sangat heran terhadap hal ini. Dalam hatinya tergambar suatu tanda tanya besar, ”Apa yang sebenarnya dilakukan Reina? Apakah Reina akan dikeluarkan?.....” dan masih banyak lagi pertanyaan yang timbul di pikiran Bu Erlina.

Kata demi kata yang keluar dari orang yang memimpin sekolah didengarkan dengan serius oleh Bu Erlina. Ia menyatakan bahwa Reina terpaksa diskors dari tempat ilmunya karena terkena kasus narkoba bersama teman-temannya. Tanpa disadari, air mata Bu Erlina menetes dengan derasnya. Ia merasa bahwa ia telah gagal mensukseskan anaknya. Ia menyadari bahwa Ia tidak berhasil mengurus anak kebanggaannya. Kerja kerasnya selama ini seakan sirna dalam sekejap dan tak ada nilainya lagi. Ia sangat bingung tentang apa yang akan dilakukannya dan apa yang akan ia berikan pada teman-temannya sebagai alasan dari perbuatan anaknya. Kaki dan tubuhnya seketika itu terasa kaku, ia tak mampu berkata-kata dan bertindak. Hatinya kini bukan hanya tergores atau tertancap paku, tapi sudah dipotong-potong menjadi bagian yang paling kecil....

Sebentar lagi matahari akan tenggelam dan mengucapkan selamat tinggal pada semua orang. Ibu Erlina sudah menunggu Reina dan memasakkan Reina makanan kesukaannya. Setelah Reina pulang, Ibunya menyambutnya dengan senyum dan pelukan hangat. Reina tidak menghiraukan hal itu dan langsung duduk di meja makan. Ibu Erlina menanyakan tentang kasus narkobanya, tetapi Reina menyangkalnya dan langsung meninggalkan meja makan. Ia melemparkan tasnya ke tempat tidur, lalu membanting pintu kamarnya sekeras mungkin.

Beberapa saat setelah itu, Ibu Erlina membawakan makanan untuk Reina ke kamarnya. Hati tulusnya masih mendorongnya untuk tetap menyayangi Reina. Ia membawakan sayur bayam dan kacang rebus kesukaan Reina yang dibelinya di dekat tempat kerjanya. Sesampainya di kamar Reina dan membuka pintu yang bertuliskan ’Kamar REINA ANNETA..’, Ibu Erlina merasa sangat kaget. Piring ditangannya tanpa sadar terjatuh. Tubuhnya kaku dan bagai melayang di udara. Ia seakan tak bisa merasakan lagi denyut nadinya setelah melihat Reina tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Ia langsung menelpon ambulans dan secepat kilat membawa Reina ke rumah sakit. Di hatinya tersiratkan pertanyaan besar..”Reina, jangan tinggalkan Ibu sendiri.. Ibu akan berjuang demimu, Nak...”

Reina langsung dimasukkan kedalam ruang ICU. Dalam keheningannya, Ibu Erlina terus menangis tanpa henti. Air matanya seakan takkan pernah habis hingga kesadaran anaknya pulih. Seketika itu, laki-laki berjas putih keluar dari ICU dan menghadapkan wajahnya pada Bu Erlina, ”Bu, anak Ibu, Reina Anneta, menderita overdosis karena pemakaian narkoba yang berlebihan. Sampai sekarang, Ia belum sadarkan diri. Ia masih harus dirawat di sini sampai ia sadar..”.

Tak terasa sudah hampir satu minggu Reina dirawat. Detik demi detik Ibu Erlina menunggu kesadaran anaknya. Ia sudah menjual semua harta bendanya bahkan rumahnya sendiri demi pengobatan anak kesayangannya. Setiap hari derai air mata terus membasahi pipinya yang baru saja mengering. Tak bosan-bosannya Ia duduk disamping Reina dan menunggu Reina membuka matanya kembali.

Sampai suatu ketika, Reina sadarkan diri. Ia memegang erat tangan ibunya dan meminta maaf dengan terbata-bata, ”Bu, maafkan Reina... Maafkan Reina kalau air mata Ibu terus mengalir karena Reina... Sekali lagi maafkan Reina... Reina menyesal telah menggores hati Ibu dengan tindakan jahat Reina...Maafkan Reina, Bu...”. ”Ibu selalu memaafkanmu, Anakku sayang.....” jawab Bu Erlina sambil memeluk erat tubuh Reina. Tangisan Ibu Erlina menjadi semakin deras. Tak lama setelah itu, tangan Reina mengendur. Dahan yang tertiup angin menjadi saksi akhir dari hidup Reina. Kini Reina telah menuju tempat yang tak seorangpun mengetahuinya, tentunya dengan kebahagiaan dan kata maaf yang sangat berharga dari ibunya.

Pengorbanan Ibu Erlina terhadap anak kesayangannya terkesan sia-sia bagi orang-orang disekitarnya. Tapi, bagi Ibu Erlina, pengorbanannya tak pernah sia-sia bagi Reina. Dan karena pengorbanannya, ia masih memiliki kesempatan untuk mendengar suara terakhir Reina dan mengucapkan kata terakhir untuk anaknya dari lubuk hatinya. Kenyataan bahwa Reina telah meninggalkannya terpaksa diingatnya selalu. Tapi, ada satu hal yang menyertai kenangan kelam itu di pikirannya....bahwa... Ibu selalu menyayangi Reina....

by, me