Dalam keheningan pagi, terlihat sesosok tubuh mungil tertidur lelap dibalik tenda biru yang hampir rata dengan tanah. Dinginnya angin yang menusuk tubuh tak pernah dihiraukan oleh tubuh mungil itu. Hanyalah sepasang pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya. Seakan hanya matahari yang mampu membuat pakaiannya baru kembali, sampai datangnya sepasang tangan yang mau mengangkatnya dari keterpurukkannya.
Tiba-tiba, tubuh mungil itu terbangun dari komedi putar mimpinya. Langakah demi langkah dilakukannya untuk keluar dari penjara kumuhnya. Mentari pagi yang menyambutnya hangat selalu dianggapnya sebagai seorang Ibu yang menyayanginya. Di dalam lubuk hatinya, sosok Ibu, Ayah, dan kasih sayang hanyalah dongeng belaka. Semua lagu anak-anak yang membawa kegembiraan kasih sayang orangtua tak pernah ingin didengar oleh hati nuraninya.
Denting waktu sudah menunjukkan bahwa matahari saat ini berada tepat di atas kepalanya. Tetapi, langit masih mempertahankan warna kelam di surganya. Sangat tampak tetesan air yang asin akan jatuh dari tempat yang sangat tinggi dan membasahi seluruh pelosok negeri. Kecemasan sangat tampak di raut wajahnya kecilnya. Karena baginya, hanya cahaya mentari yang mempu membuatnya bertahan melawan kelamnya dunia maupun kesendiriannya.
Perkiraan hatinya kali ini tak meleset lagi. Derai air mulai menetes satu per satu membasahi wajahnya. Pakaiaannya yang baru saja mengering di tubuh, kini kembali basah. Ia selalu menatap heran pada teman-teman kecilnya yang sangat gembira menyambut datangnya air kejam itu. Hatinya pun bertanya-tanya.. “Wahai Dewi Mentari, dimanakah engkau berada?...”
Teriakan dan canda tawa teman-teman sebayannya menggugah hatinya untuk keluar dari tempat sesaknya. Dilihatnya tubuh-tubuh mungil riang bermandi air hujan. Pakaian mereka yang basah dan kering di tubuh tak menjadi batu penghalang kesenangan di hati mereka. Ia sangat ingin bergabung dengan mereka, menikmati canda-tawa yang mulai merajalela. Ia pun segera mengikuti kata hatinya. Ditengoknya awan di langit masih menangis dengan tersedu-sedu. Sebentar-sebentar ia menghapus air yang hampir menerobos kelopak matanya. Tiba-tiba, kaki dan tubuhnya menjadi kaku. Ia bingung terhadap apa yang akan ia lakukan di luar sana.
“Ciara!.. Kemari!.. Sedang apa kamu disana?.. Mari ikut denganku...” tiba-tiba suara seorang anak yang sebaya dengannya memanggil dari perempatan jalan.
“Iya, aku segera kesana, Mya...” jawabnya pada gadis berambut lebat di perempatan jalan itu, Mya. Seketika itu juga, Ciara sampai di tempat Mya. Diserahkannya payung merah berrcorak bunga pada Ciara.
“Ciara, kamu tanyakan pada orang-orang agar mau kau payungi, lalu terima bayaran dari mereka. Inilah yang biasa disebut orang sebagai ‘Ojek Payung’.. Sebutan ini tidak begitu jelek, kan?... Apa kau mau melakukannya?.. Percayalah padaku, ini seru!..” jelas Mya lembut pada Ciara.
“Baik, Mya... Akan ku coba..” jawab Ciara dengan tatapan heran. Hatinya menerawang kata-kata Mya untuk mendapat penjelasan yang mudah ia mengerti.
Setelah sekian lama berlarian di jalan basah, lumpuur-lumpur yang tergenang sudah membasahi kakinya. Ia mulai menikmati kesenangan yang melumuri hatinya. Kegembiraan dan senyuman yang tulus mulai tersiratkan di wajah mungilnya. Tiba-tiba, hempasan angin dingin yang kencang menerpa tubuhnya. Ia sungguh tak kuasa menahan terjangan angin. Tangan kirinya yang memegang payung terlepas begitu saja. Ia berlari melawan arus kendaraan yang melaju kencang demi mendapatkan payungnya kembali. Tanpa menyerah melawan angin yang menusuk tubuh, ia terus berlari tanpa henti...
Seketika itu, sebuah motor yang melaju kencang menyerempet tubuh bagian kanan Ciara. Ciara terlempar ke trotoar dan kepalanya mengenai batu aspal yang keras. Dilihatnya sekelompok orang mulai mengerumuninya. Kini, ia benar-benar tak sadarkan diri. Kepalanya telah berlumuran darah merah yang tak henti-hentinya mengalir. Tak ada satupun orang yang menolongnya. Tak ada satupun hati yang tergerakk membawanya ke tempat yang lebih layak..
Setelah Ciara siuman, ia segera membuka matanya. Dilihatnya ruangan bernuansa putih bersih yang bercahaya menyilaukan. Dari pintu, keluarlah sepasang suami-istri yang terlihat sudah lama mengenal Ciara. Mereka langsung mendekati Ciara dan memeluknya erat. Ia mendengar bisikan pelan yang sungguh mengejutkan hatinya.
“Ciara sayang, ini ayah dan ibu, maafkan kami kalau kami meninggalkanmu lebih dulu. Sebenarnya kami tak mau itu terjadi. Kecelakaan mobil yang dialami ibu dan ayah membawa kami jauh darimu, nak. Tapi jiwa kami tetap selamanya berada di hatimu. Anakku tersayang, kini kita sudah berkumpul kembali, dan kita tak akan terpisahkan kembali.. Ingatlah ini baik-baik Ciara, kami selalu menyayangimu, anakku.... “